POKOK-POKOK LEGAL DRAFTING
(Menurut Pakar Hukum Tiar Ramon, SH. MH)
DASAR HUKUM :
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan PerUUan
• Secara harfiah legal dafting dapat diterjemahkan secara bebas,
adalah penyusunan/ perancangan Peraturan Perundang-undangan. Dari
pendekatan hukum, Legal drafting adalah kegiatan praktek hukum yang
menghasilkan peraturan, sebagai contoh; Pemerintah membuat Peraturan
Perundang-undangan; Hakim membuat keputusan Pengadilan yang mengikat
publik; Swasta membuat ketentuan atau peraturan privat seperti;
perjanjian/ kontrak, kerjasama dan lainnya yang mengikat pihak-pihak yang
melakukan perjanjian atau kontrak.
• Legal drafting dipahami bukan sebagai
perancangan hukum dalam arti luas, melainkan hukum dalam arti sempit,
yakni undang-undang, perundang-undangan, atau produk hukum lainnya seperti peraturan dan keputusan. Jadi bukan perancangan
hukum seperti perjanjian/ kontrak, dll.
• Legal Drafting merupakan konsep dasar tentang penyusunan peraturan
perundang-undangan yang berisi tentang naskah akademik hasil kajian
ilmiah beserta naskah awal peraturan perundang-undangan yang diusulkan.
Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses
pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasamya dimulai dari
perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,
pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.
• Dapat disimpulkan kegiatan legal drafting disini adalah dalam rangka pembentukan peraturan-perundangan.
• Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan pembentukan Peraturan Perundang-undangan
adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan.
• Sesuai dengan bunyi pasal 1 angka 1 UU No. 12 tahun 2011 di atas,
bahwa proses sebuah peraturan menjadi legal dan mempunyai daya ikat atau
kekuatan hukum tetap harus melewati beberapa tahap.
• Adanya legal drafting ada hubungannya dengan konsep negara hukum.
• Negara hukum (Wirjono Prodjodikoro) adalah “suatu negara yang di dalam
wilayahnya semua alat perlengkapan negara khususnya alat-alat
perlengkapan dari pemerintah dalam setiap tindakannya terhadap
warganegara dan dalam berhubungan tidak boleh sewenang-wenang, melainkan
harus memperhatikan hukum, dan semua orang dalam hubungan
kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan hukum yang berlaku”.
• Sedangkan menurut Hartono Mardjono, dikatakan negara hukum adalah
“bilamana di negara tersebut seluruh warganegara maupun alat-alat
perlengkapan dan aparat negaranya, tanpa kecuali dalam segala
aktifitasnya tunduk kepada hukum”. (equity dan non-discrimination)
• Tujuan Negara Hukum S. Tasrif: 1) Kepastian hukum (tertib/ order); 2)
Kegunaan (kemanfaatan/ utility); dan 3) Keadilan (justice). Sedangkan
menurut Ahmad Dimyati: 1) Pencapaian keadilan, 2) Kepastian hukum, dan
3) Kegunaan (kemanfaatan).
Kesimpulan:
1. Pencapaian Keadilan, sesuai dengan asas Ius quia iustum (hukum adalah
keadilan, dan Quid ius sine justitia (apalah arti hukum tanpa
keadilan).
2. Hukum adalah untuk mengatur hubungan, baik warga masyarakat maupun
negara, The law is a tool to “social control” and “social engineering”.
3. Hukum dilaksanakan untuk mencapai kepastian.
Unsur-unsur negara hukum :
1. Sistem pemerintahan negara yg berdasarkan atas kedaulatan rakyat
2. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum atau peraturan PerUUan
3. Adanya jaminan terhadap HAM (warga negara)
4. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara
5. Adanya pengawasan dari badan2 peradilan (rechterlijke controle) yg
bebas dan mandiri dalam arti lembaga peradilan tersebut benar2 tidak
memihak dan tidak berada dibawah pengaruh eksekutif.
6. Adanya peran nyata dari anggota2 masyarakat atau warga negara untuk
turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang
dilakukan pemerintah
7. Adanya sistem perekonomian yg dapat menjamin pembagian yg merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
• Sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 45 maka segala
aspek kehidupan dan bidang kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan
termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum (asas
legalitas=legaliteits beginsel).
• Konsekuensinya adalah dalam penyelenggaraan pemerintahan negara tidak
terlepas dari peraturan PerUUan sebagai hukum positif yang berlaku di
Indonesia.
• Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat
norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh
lembaga negara atau pejabat yg berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam peraturan perUUan .(Pasal 1 angka 2 UU No. 12 tahun
2011).
• Untuk itu perlu adanya suatu pemahaman terhadap tatacara penyusunan
peraturan PerUUan mulai dari proses, prosedur, dan teknik dalam
penyusunan dan pembuatan rancangan peraturan PerUUan.
Negara Indonesia sebagai negara hukum dapat dilihat pada:
1. Bab I Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Indonesia adalah negara hukum;
2. Pembukaan dicantumkan kata-kata : Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia;
3. Bab X Pasal 27 ayat (1) disebutkan segala warga negara bersamaan
kedudukannya didalam hukum pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
itu dengan dengan tidak ada kecualinya;
4. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dihapus disebutkan
dalam Sistem Pemerintahan Negara, yang maknanya tetap bisa dipakai,
yaitu Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat),
tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat);
5. Sumpah/janji Presiden/Wakil Presiden ada kata-kata ”memegang teguh
Undang-Undang Dasar dan segala undang-undang dan peraturannya dengan
selurus-lurusnya”;
6. Bab XA Hak Asasi Manusia Pasal 28i ayat (5), disebutkan bahwa ”Untuk
penegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara
hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin,
diatur dan dituangkan dalam Peraturan Perundang-Undangan;
7. Sistem hukum yang bersifat nasional;
8. Hukum dasar yang tertulis (konstitusi), hukum dasar tak tertulis (konvensi);
9. Tap MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan;
10. Adanya peradilan bebas.
Dasar-dasar hukum pembentukan peraturan perundang-undangan :
1. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 “Negara Indonesia adalah NEGARA HUKUM”
2. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 “Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kewenangan membentuk UNDANG-UNDANG”
3. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,
Presiden berhak menetapkan PERATURAN PEMERINTAH SEBAGAI PENGGANTI
UNDANG-UNDANG”
4. Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 “Presiden menetapkan PERATURAN PEMERINTAH untuk menjalankan UNDANG-UNDANG sebagaimana mestinya”
5. Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 “Pemerintah daerah berhak menetapkan
PERATURAN DAERAH dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi
dan tugas pembantuan”
6. UU Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
• Untuk dapat menjadi seorang “Legal Drafter (perancang PerUUan) ” maka
tidak terlepas dari penguasaan ilmu perundang-undangan karena ilmu
perundang-undangan adalah suatu ilmu yang mempelajari segala seluk beluk
proses atau tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan dan isi
atau subtansi suatu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
pejabat yang berwenang untuk mengatur tingkah laku manusia yang bersifat
atau mengikat secara umum.
• Sedangkan menurut B. Hestu Cipto Handoyo Ilmu Perundang-undangan
merupakan cabang dari ilmu hukum yang secara khusus objek kajiannya
adalah meneliti tentang gejala peraturan peraturan perundang-undangan
yakni setiap keputusan tertulis yg dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang untuk mengatu tingkah laku manusia yang bersifat dan berlaku
mengikat umum.
• Dengan kata lain ilmu perundang-undangan berorientasi kepada melakukan
perbuatan dala m hal ini pembentukan peraturan PerUUan serta bersifat
normatif (mata kuliah dasar)
Ilmu perundang-undangan terbagi :
1. Proses perundang-undangan (gezetsgebungsverfahren) : meliputi
beberapa tahapan dalam pemnbentukan perundang-undangan seperti tahap
persiapan, penetapan, pelaksanaan, penilaian dan pemaduan kembali produk
yang sudah jadi.
2. Metode prundang-undangan (gezetsgebungsmethode) : ilmu tentang
pembentukan inis norma hukum yang teratur untuk dapat mencapai
sasarnannya. Pengacuannya kepada hal-hal yang berhubungan dengan
perumusan unsur dan struktur suatu ketentuan dalam norma seperti objek
norma, subjek norma, operator norma dan kondisi norma.
3. Teknik perundang-undangan (gezetsgebungstechnic) : Teknik
perundang-undangan mengkaji hal-hal yg berkaitan dengan teks suatu
perundang-undangan meliputi bentuk luar, bentuk dalam, dan ragam bahasa
dari peraturan perundang-undangan.
Kegunaan ilmu perundang-undangan yaitu :
• Selain dalam rangka merubah masyarakat, tentunya kearah yang lebih
baik sesuai dengan doktrin hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as
tool of social enginering), kegunaan lain ilmu perundang-undangan yaitu :
1. Memudahkan praktik hukum, terutama bagi kalangan akademisi, praktisi hukum maupun pemerintah.
2. Memudahkan klasifikasi dan dokumentasi peraturan perundang-undangan
3. Memberikan kepastian hukum dalam pembentukan hukum nasional
4. Mendorong munculnya suatu produk peraturan perundang-undangan yang baik.
• Dalam ilmu hukum (rechtswetenschap) dibedakan antara UU dalam arti materiil (wet in materiele zin) dan UU dlm arti formil
• UU dalam arti materil adalah Peraturan PerUUan sedangkan UU dalam arti formil adalah UU.
Beda Peraturan perundang-undangan dengan Undang-undang :
- Peraturan perundang-undangan yaitu setiap keputusan tertulis yang
dikeluarkan pejabat yg berwenang yg berisi aturan tingkah laku atau
mengikat secara umum yang disebut juga undang-undang dalam arti materil.
- Undang-undang yaitu keputusan tertulis sebagai hasil kerja sama antara
pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif yg berisi aturan tingkah
laku yg bersifat atau mengikat umum yang disebut juga undang-undang
dalam arti formil.
Kesimpulan :
• Untuk membedakan antara UU dalam arti materil dan formil tidak lain adalah menyangkut organ pembentuk dan isinya.
• Jika organ yg membentuk itu adalah pejabat yg berwenang dan isi
berlaku dan mengikat umum maka disebut sbg UU dlm arti materiil.
• Hal ini berarti jikalah ada ketentuan tertulis yg dikeluarkan oleh
pejabat yg berwenang namun isinya tidak bersifat dan mengikat umu maka
ketentuan tsb tidak dapat disebut sebagai UU dalam arti materil atau
perundang-undangan.
• Sedangkan jikalau yang membentuk itu adalah organ negara pemegang
kekuasaan legislatif (dalam kontek UUD 45 adalah kerjasama antara
pemegang kekuasaan eksekuti dan legislatif) yg isinya berlaku dan
mengikat umum, maka produk hukum itu disebut UU dalam arti formil atau
cukup disebut UU.
• Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 2 dan 3 UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerUUan.
Ciri-ciri peraturan perundang-undangan :
1. Peraturan perUUan berupa keputusan tertulis, jadi mempunyai bentuk atau format tertentu.
2. Dibentuk, ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang,
baik ditingkat pusat maupun di di tingkat daerah. Pejabat yang berwenang
yang dimaksud adalah pejabat yang ditetapkan berdasarkan ketentuan yang
berlaku baik berdasarkan atribusi maupun delegasi.
3. Perturan PerUUan tersebut berisi aturan pola tingkah laku.
4. Peraturan PerUUan mengikat secara umum umum, tidak ditujukan kepada
seseorang atau individu tertentu (tidak bersifat individual).
5. Peraturan perUUan berlaku secara terus menerus (dauerhafing) sampai
diubah, dicabut atau digantikan dengan peraturan perUUan yang baru.
Kelebihan dan kelemahan peraturan perundang-undangan :
• Kelebihan peraturan PerUUan (hukum tertulis) :
1. Mudah dikenali, diketemukan kembali maupun ditelusuri.
2. Lebih memberikan kepastian hukum
3. Memungkinkan untuk diperiksa dan diuji
4. Pembentukan dan pengembangannya dapat direncanakan.
• Kelemahan Peraturan PerUUan (hukum tertulis)
1. Terkesan kaku
2. Kurang lengkap.
• Selain itu juga dalam rangka menyusun dan membentuk peraturan
perUUan selain perlunya penguasaan ilmu perundang-undangan seorang legal
drafter juga harus memperhatikan norma-norma/kaidah hukum sebagai dasar
pembentukan perUUan tersebut.
• Kaidah/norma hukum pada pokoknya dapat diartikan adalah pengambilan
keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang
mengikat subyek hukum dengan hak2 dan kewajiban hukum yg berupa
larangan, keharusan maupun kebolehan.
• Produk pengambilan keputusan tersebut dapat dibedakan dengan tiga istilah yaitu :
1. Pengaturan yg menghasilkan peraturan (regels)
2. Penetapan yg menghasilkan ketetapan atau keputusan (beschickkings)
3. Penghakiman atau pengadilan yang menghasilkan putusan (vonis).
• Untuk itu hukum harus dimaknai sebagai sebuah ketentuan baik tertulis
maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan manusia dalam pergaulan
hidup. Baik antara sesama maupun dengan lingkungannya. Ketentuan
tersebut sifatnya adalah mengikat dan berlaku umum dan apabila tidak
diindahkan akan dikenai sanksi yang berasal dari external power
(kekuasaan diluar diri manusia).
• Kaidah/norma hukum bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keamanan
(orde) maupun ketentraman dan ketenangan (rust). Kaidah hukum daya
lakunya dipaksakan dari luar diri manusia.
• Dapat juga diartikan norma hukum adalah suatu patokan yang didasarkan
kepada ukuran nilai2 baik atau buruk yang berorientasi kepada asas
keadilan dan bersifat : 1) suruhan (impare/gebod) yang harus dilakukan
orang (perintah), 2) larangan (prohibire/verbod) yang tidak boleh
dilakukan, 3) kebolehan (permitted/mogen) sesuatu yang tidak dilarang
dan tidak disuruh.
Contoh :
• Seorang wanita yang sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama 4 tahun (346 KUHP)
• Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam karena melakukan
penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama 8 tahun (354 KUHP)
• Setiap orang yang akan mendirikan bangunan wajib mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang.
Fungsi, tujuan dan tugas norma hukum
• Fungsi : melindungi kepentingan manusia, kelompok manusia (masyarakat) dan negara.
• Tujuan, tercapainya ketertiban dalam masyarakat.
• Tugas, mengusahakan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat dan kepastian hukum agar tercapainya tujuan hukum.
Bentuk-bentuk norma hukum :
• Umum dan individual : norma ini dilihat dari sasaran atau subyek yang
dituju. Individu, beberapa orang atau sekelompok orang tertentu
• Abstrak dan konkrit : Abstrak atau konkritnya suatu norma ditentukan
oleh bentuk perbuatan yang diatur, mujarad (tak berwujud) atau nyata.
• Einmahlig dan dauerhaftig : Norma hukum ini dapat dilihat dari masa
berlakunya. Einmahlig (berlaku sekali selesai) dan dauerhafting (berlaku
terus menerus)
Bentuk-bentuk norma hukum :
• Tunggal dan berpasangan : Norma hukum ini dilihat dari sifatnya apakah
berdiri sendiri (tunggal) atau diikuti oleh norma hukum lain
(berpasangan).
• Isi norma hukum tunggal adalah suruhan (das sollen) untuk bertindak
atau bertingkah laku. Norma hukum berpasangan terdiri dari beberapa
norma hukum yaitu norma hukum primer dan sekunder. Norma hukum sekunder
merupakan penanggulangan apabila norma primer tidak terlaksana.
Tata urutan norma hukum :
• Teori jejang norma (stufentheorie) Hans Kelsen : norma-norma hukum itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki tata susunan,
dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku bersumber dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi tersebut berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi. Demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih
lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yang disebut dengan norma dasar
(grundnorm).
Menurut D.W.P. Ruiter, dalam kepustakaan di Eropa Kontinental yang
dimaksud peraturan perundang-undangan yaitu mengandung 3 unsur :
1. Norma hukum (rechtnorm)
2. Berlaku ke luar (naar buiten werken) dan
3. Bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruime zin)
Ad. 1 : Norma hukum
Sifat norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa :
a. Perintah (gebod)
b. Larangan (verbod)
c. Pengizinan (toestmming) dan
d. Pembebasan (vrijstelling)
Ad.2 : Norma berlaku orang
Ruiter berpendapat bahwa didalam peraturan perundang-undangan tradisi
yang hendak membatasi berlakunya norma hanya bagi mereka yang tidak
termasuk dalam organisasi pemerintahan. Norma hanya ditujukan kepada
rakyat, baik dalam hubungan antar sesama maupun antara rakyat dan
pemerintah. Norma yang mengatur hubungan antar bagian-bagian organisasi
pemerintahan dianggap bukan norma yang sebenarnya dan hanya dianggap
norma organisasi. Oleh karena itu norma hukum dalam peraturan
perundang-undangan selalu disebut ”berlaku ke luar”
Ad. 3 : Norma bersifat umum dalam arti luas
Dalam hal ini terdapat perbedaan antara norma yang umum (algemeen) dan
yang individual (individueel), hal ini dilihat dari addressat (alamat)
yang dituju, yaitu ditujukan kepada ”setiap orang” atau kepada ”orang
tertentu”, serta antara norma yang abstrak (abstract) dan yang konkret
(concreet) jika dilihat dari hal yang diaturnya, apakah mengatur
peristiwa-peristiwa yang idak tertentu atau mengatur peristiwa-peristiwa
yang tertentu.
LANDASAN-LANDASAN DAN ASAS-ASAS HUKUM DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
Landasan pembentukan peraturan perundang-undangan :
1. Landasan filosofis (filosofische grondslag)
• Rumusan atau norma-normanya mendapatkan pembenaran (rechtvaardging) jika dikaji secara filosofis, dan
• Sesuai dengan ciata-cita kebenaran (idee der waarheid), cita keadilan
(idee der gerechttigheid), dan cita kesusilaan (idee der zedelijkheid).
2. Landasan sosiologis (sociologische grondslag)
• Dikatakan mempunyai landaan sosiologis bila ketentuan2nya sesuai
dengan keyakinan umum atau kesadaran masyarakat. Hal ini penting agar UU
ditaati dan berlaku efektif dimasyarakat.
3. Landasan yuridis (juridische grondslag)
• Landasan yuridis dimaksud meliputi arti formil dan materil. Secara
formil adalah landasan yuridis yang memberikan kewenangan (bevogdheid)
bagi instansi tertentu untuk membentuk peraturan perundang-undangan
tertentu. Sedangkan secar materil adalah landasan yuridis untuk segi isi
(materi) yang harus diatur dalam dalam suatu peraturan
perundang-undangan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi derajatnya.
Contoh : dalam konsideran menimbang (grondslag) dikenal juga dengan
istilah konsideran factual yang berisikan pertimbangan-pertimbangan dan
filosofis dan sosiologis. Selanjutnya konsideran mengingat (rechtgrond)
dikenal juga denagan istilah konsideran yuridis berisikan dasar-dasar
hukum tertinggi dan sederajat yang dipergunakan untuk pijakan legalitas.
LANDASAN PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. Prinsip-Prinsip Peraturan Perundang-Undangan
1. Dasar Peraturan Perundang-Undangan Selalu Peraturan Perundang-Undangan
• Landasan atau dasar Peraturan Perundang-Undangan secara yuridis selalu
Peraturan Perundang-Undangan dan tidak ada hukum lain yang dijadikan
dasar yuridis kecuali Peraturan Perundang-Undangan. Dalam menyusun
Peraturan Perundang-Undangan harus ada landasan yuridis secara jelas.
Walaupun ada hukum lain selain Peraturan Perundang-Undangan namun hanya
sebatas dijadikan sebagai bahan dalam menyusun Peraturan
Perundang-Undangan. Contoh hukum lain seperti hukum adat, yurisprudensi,
dan sebagainya.
2. Hanya Peraturan Perundang-Undangan Tertentu Saja yang Dapat Dijadikan Landasan Yuridis
• Landasan yuridis penyusunan Peraturan Perundang-Undangan yaitu hanya
Peraturan Perundang-Undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi dan
terkait langsung dengan Peraturan Perundang-Undangan yang akan disusun.
Oleh karena itu tidak dimungkinkan suatu Peraturan Perundang-Undangan
yang lebih rendah dijadikan dasar yuridis dalam menyusun Peraturan
Perundang-Undangan. Kemudian Peraturan Perundang-Undangan yang tidak
terkait langsung juga tidak dapat dijadikan dasar yuridis Peraturan
Perundang-Undangan.
3. Peraturan Perundang-Undangan yang Masih Berlaku Hanya Dapat Dihapus,
Dicabut, atau Diubah Oleh Peraturan Perundang-Undangan yang Sederajat
atau yang Lebih Tinggi
• Dengan prinsip tersebut, maka sangat penting peranan tata urutan atau
hirarki Perundang-Undangan dan dengan prinsip tersebut tidak akan
mengurangi para pengambil keputusan untuk melakukan penemuan hukum
melalui penafsiran (interpretasi), pembangunan hukum maupun penghalusan
hukum terhadap Peraturan Perundang-Undangan.
4. Peraturan Perundang-Undangan Baru mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan Lama
• Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang
sederajat, maka yang diberlakukan adalah Peraturan Perundang-Undangan
yang terbaru. Dalam prakteknya pada prinsip tersebut temyata tidak mudah
diterapkan, karena banyak Peraturan perundang-Undangan yang sederajat
saling bertentangan materi muatannya namun malahan sering dilanggar oleh
para pihak yang memiliki kepentingan.
5. Peraturan Perundang-Undangan yang Lebih Tinggi Mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan yang Lebih Rendah
• Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang
lebih tinggi tingkatannya dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih
rendah, maka Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi yang
diberlakukan, dan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah
dikesampingkan.
6. Peraturan Perundang-Undangan Yang Bersifat Khusus Mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan Yang Bersifat Umum
• Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang
bersifat khusus dengan Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat umum
yang sederajat tingkatannya, maka yang diberlakukan adalah Peraturan
Perundang-Undangan yang bersifat khusus (lex spesialis derogat lex
generalis).
7. Setiap Jenis Peraturan Perundang-Undangan Materi Muatannya Berbeda
• Setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan materi muatannya harus
saling berbeda satu sama lain yang berarti bahwa materi muatan Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih tinggi (terdahulu) tidak boleh diatur
kembali di dalam materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih
rendah. Penentuan materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih
rendah tingkatannya tidak mengalami kesulitan apabila materi muatan
tertentu dalam Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi
tingkatannya jelas-jelas mendelegasikan kepada Peraturan
perundang-Undangan yang lebih rendah.
B. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
1. Asas Formil
Asas formil dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yaitu meliputi:
a. Kejelasan tujuan, yaitu setiap pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus mempunyai tujuan dan manfaat yang jelas untuk
apa dibuat;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis
Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga atau organ
pembentuk Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau
batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga atau organ yang tidak
berwenang;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu perumusan materi
muatan dalam setiap Peraturan Perundang-undangan harus memiliki
kesesuaian dengan jenis perundang-undangan;
d. Dapat dilaksanakan, yaitu setiap pembentukan Peraturan
Perundangundangan harus didasarkan pada perhitungan bahwa Peraturan
Perundangundangan yang dibentuk nantinya dapat berlaku secara efektif di
masyarakat karena telah mendapat dukungan baik secara filosofis,
yuridis; maupun sosiologis sejak tahap penyusunannya;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap Peraturan
Perundangundangan yang dibentuk benar-benar mempunyai dayaguna dan hasil
guna berlaku di dalam masyarakat, berfungsi secara efektif dalam
memberikan ketertiban, ketenteraman, dan kedamaian bagi masyarakat ;
f. Kejelasan rumusan, yaitu; bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan
harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan
Perundangundangan, sistematika, dan pilihan kata atau terminologi, serta
bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interprestasi dalam pelaksanaannya;
g. Keterbukaan, yaitu tidak adanya muatan materi Peraturan
Perundangundangan yang disembunyikan atau bersifat semu, sehingga dapat
menimbulkan berbagai penafsiran dalam praktek/implementasinya.
2. Asas materil
Materi Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:
a. Pengayoman, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi
mengayomi seluruh masyarakat dan memberikan perlindungan hak asasi
manusia yang hakiki;
b. Kemanusiaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus bersifat
manusiawi dan menghargai harkat dan martabat manusia serta tidak boleh
membebani masyarakat di luar kemampuan masyarakat itu sendiri;
c. Kebangsaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang berasaskan musyawarah
dalam mengambil keputusan;
d. Kekeluargaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan asas musyawarah mufakat dalam setiap penyelesaian masalah
yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan;
e. Kenusantaraan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan merupakan
bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila atau
wilayah/daerah tertentu, sesuai dengan jenis Peraturan Perundangundangan
tersebut;
f. Kebhinnekatunggalikaan, yaitu setiap perencanaan, pembuatan, dan
penyusunan serta materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus
memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan khususnya
yang menyangkut masalah-masalah yang sensitif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
g. Keadilan yang merata, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan bagi setiap warga negara tanpa kecuali;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, yaitu setiap
Peraturan Perundang-undangan materi muatannya tidak boleh berisi hal-hal
yang bersifat diskriminatif;
i. Ketertiban dan kepastian hukum; yaitu setiap Peraturan
Perundangundangan harus dapat menimbulkan kepastian hukum dan ketertiban
dalam masyarakat;
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, yaitu setiap Peraturan
Perundang-undangan materi muatannya atau isinya harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu
dan masyarakat, serta bangsa dan negara.
C. Asas Pemberlakukan Peraturan Perundang-undangan
• Secara umum ada beberapa asas atau dasar agar supaya Peraturan
Perundangundangan berlaku dengan baik dan efektif, dalam arti bahwa
Peraturan Perundang-undangan tersebut berlaku dengan baik (sempurna) dan
efektif dalam teknik penyusunannya.
• Ada 3 (tiga) asas pemberlakuan Peraturan Perundang-undangan yakni asas
yuridis, asas filosofis, asas sosiologis. Teknik penyusunan Peraturan
Perundang-undangan merupakan hal lain yang tidak mempengaruhi
keberlakuan Peraturan Perundangundangan, namun menyangkut baik atau
tidaknya rumusan suatu Peraturan Perundang-undangan.
• Asas yuridis tersebut sangat penting artinya dalam penyusunan Peraturan Perundang-undangan, yaitu yang berkaitan dengan :
1. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat Peraturan perundangundangan,
yang berarti bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus dibuat
oleh badan atau pejabat yang berwenang.
2. Keharusan adanya kesesuaian antara jenis dan materi muatan Peraturan
Perundang-undangan. Ketidaksesuaian jenis tersebut dapat menjadi alasan
untuk membatalkan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat.
3. Keharusan mengikuti tata cara atau prosedur tertentu. Apabila
prosedur/ tata cara tersebut tidak ditaati, maka Peraturan
Perundang-undangan tersebut batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai
kekuatan mengikat.
4. Keharusan tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
a. Asas filosofis Peraturan Perundang-undangan adalah dasar yang
berkaitan dengan dasar filosofis/ideologi negara, dalam arti bahwa
Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan secara sungguh-sungguh
nilainilai (citra hukum) yang terkandung dalam Pancasila. Setiap
masyarakat mengharapkan agar hukum itu dapat menciptakan keadilan,
ketertiban, dan kesejahteraan.
b. Asas sosiologis Peraturan Perundang-undangan adalah dasar yang
berkaitan dengan kondisi/kenyataan yang hidup dalam masyarakat berupa
kebutuhan atau tuntutan yang dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan dan
harapan masyarakat. Oleh karena itu Peraturan Perundang-undangan yang
telah dibuat diharapkan dapat diterima oleh masyarakat dan mempunyai
daya-laku secara efektif. Peraturan Perundang-undangan yang diterima
oleh masyarakat secara wajar akan mempunyai daya laku yang efektif dan
tidak begitu banyak memerlukan pengarahan institusional untuk
melaksanakannya.
c. Soerjono Soekanto-Purnadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoritis
sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum, yaitu :
1. Teori Kekuasaan (Machttheorie) secara sosiologis kaidah hukum berlaku
karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima oleh
masyarakat;
2. Teori Pengakuan, (Annerkenungstheorie). Kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku
JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN LEMBAGA PEMBENTUKNYA
- JENIS HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
- Tata urutan peraturan perundang-undangan menurut TAP MPrS No.XX/MPRS/1966 jo TAP MPR No. V/MPR/1973 sebagai berikut :
- UUD 1945
- TAP MPR
- UU/PERPU
- Peraturan Pemerintah
- Keputusan Presiden
- Peraturan pelaksana lainnya yang meliputi Peraturan menteri, instruksi menteri dan lain-lain.
- Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan sebelum
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, diatur dalam Ketetapan MPR Nomor
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan. Berdasarkan TAP MPR tersebut, jenis Peraturan
Perundang-Undangan adalah:
- Undang-Undang Dasar 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia;
- Undang-undang;
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
- Peraturan Pemerintah;
- Keputusan Presiden;
- Peraturan Daerah.
- Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka jenis
dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah.
- Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud diatas meliputi:
- Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur;
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;
- Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat dengan itu, dibuat oleh
Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau
nama lainnya.
- Selain Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah
disebutkan diatas, dan keberadaanya diakui dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang
lebih tinggi, yaitu Peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang
setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah
Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Peraturan
Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat
- Selanjutnya setelah berlakunya UU No. 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan PerUUan, hirarki diatas mengalami perubahan
sebagai berikut :
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945;
- Ketetapan MPR (TAP MPR)
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi, dan
- Peraturan Daerah kabupaten/kota .
- Penyebutan jenis Peraturan Perundang-undangan di atas sekaligus merupakan hirarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan.
Artinya, suatu Peraturan Perundang-undangan selalu berlaku, bersumber
dan berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan
norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi lagi, dan seterusnya sampai pada
Peraturan Perundang-undangan yang paling tinggi tingkatannya.
Konsekuensinya, setiap Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih
stinggi.
Berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai jenis-jenis Peraturan Perundangundangan tersebut.
a. Undang-Undang Dasar 1945
- Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara
Republik Indonesia, yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam
penyelenggaraan negara.
- Berdasarkan Ketetapan MPR yang pernah ada yaitu Tap MPRS
XX/MPRS/1966 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dan Tap
MPRS No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan menempatkan Undang-Undang Dasar 1945 pada posisi
yang paling tinggi, hal ini disebabkan karena Undang-Undang Dasar 1945
merupakan sumber hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia yang
memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan Negara.
- Hal yang sama juga diterapkan ddalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
dimana menempatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 merupakan jenis Peraturan Perundang-undangan yang tertinggi. Dengan
demikian, materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
sebagai hukum dasar tertulisi bagi bangsa Indonesia.
b. Tap MPR
Tap MPR ini merupakan putusan majelis
yang yang mempunyai kekuatan hukum mengikat ke luar dan ke dalam MPR.
Dan memiliki arti penting di bidang hukum. Bentuk Tap MPR ini pertama
kali keluar pada 1960, yaitu Ketetapan MPRS RI No.1/MPRS/1960 tentang
Manifesto Politik RI sebagai GBHN. Berdasarkan Tap MPRS No.XX/MPRS/1966
(lampiran) bentuk putusan (peraturan) MPR ini memuat:
a. Garis-garis besar dalam bidang legislatif yang dilaksanakan dengan UU.
b. Garis-garis besar dalam bidang eksekutif yang dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.
Hal ini juga berarti, Ketetapan MPR di satu pihak dapat dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.
c. ndang-Undang
- Undang-Undang merupakan Peraturan Perundang-Undangan untuk
melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 dan TAP MPR. Yang berwenang
membuat Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden.
Ada beberapa kriteria agar suatu masalah diatur dengan Undang-Undang,
antara lain sebagai berikut :
- Undang-Undang dibentuk atas perintah ketentuan Undang-Undang Dasar 1945;
- Undang-Undang dibentuk atas perintah Ketetapan MPR;
- Undang-Undang dibentuk atas perintah ketentuan Undang-Undang terdahulu;
- Undang-Undang dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah dan menambah Undang-Undang yang sudah ada;
- Undang-Undang dibentuk karena berkaitan dengan hak asasi manusia;
- Undang-Undang dibentuk karena berkaitan dengan kewajiban atau kepentingan orang banyak.
d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
- Jenis Peraturan Perundang-undangan ini/PERPU setara undang-undang
merupakan kewenangan Presiden karena pembentukannya tanpa terlebih
dahulu meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, meskipun pada
akhirnya harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan
persetujuan ditetapkan menjadi undang-undang. Kewenangan Presiden ini
dilakukan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan:
- Perpu harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
- Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan;
- Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, Perpu tersebut harus dicabut.
- Dengan demikian, Perpu hanya dikeluarkan “dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa”.
- Dalam praktik “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” diartikan secara
luas, tidak hanya terbatas pada keadaan yang mengandung suatu
kegentingan atau ancaman, tetapi juga kebutuhan atau kepentingan yang
dipandang mendesak.
- Yang berwenang menentukan apakah suatu keadaan dapat dikategorikan sebagai “kegentingan yang memaksa” adalah Presiden.
- Di samping itu, Perpu berlaku untuk jangka waktu terbatas, yaitu
sampai dengan masa sidang Dewan Perwakilan Rakyat berikutnya. Terhadap
Perpu yang diajukan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat juga hanya dapat
menyetujui atau menolak saja. Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa,
misalnya; menyetujui Perpu tersebut dengan melakukan perubahan.
e. Peraturan Pemerintah
- Peraturan Pemerintah merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang.
- Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah baru dapat dibentuk apabila
sudah ada Undang-Undangnya. Ada beberapa karakteristik Peraturan
Pemerintah, yaitu:
- Peraturan Pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa ada Undang-Undang induknya.
- Peraturan Pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana, jika Undang-Undang induknya tidak mencantumkan sanksi pidana.
- Peraturan Pemerintah tidak dapat memperluas atau mengurangi ketentuan Undang-Undang induknya.
- Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meskipun Undang-Undang yang
bersangkutan tidak menyebutkan secara tegas, asal Peraturan Pemerintah
tersebut untuk melaksanakan Undang-Undang.
- Tidak ada Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 atau TAP MPR
f. Peraturan Presiden
- Peraturan Presiden merupakan Peraturan Perundang-Undangan yang
dibentuk oleh Presiden berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Dasar 1945.
- Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Presiden disebutnya
adalah Keputusan Presiden, karena pada waktu itu Keputusan Presiden
mempunyai dua sifat, yaitu Keputusan Presiden yang bersifat sebagai
pengaturan (regelling) dan Keputusan Presiden yang bersifat menetapkan (beschikking).
- Namun setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka Keputusan Presiden yang
bersifat menetapkan disebutkan Keputusan Presiden, sedangkan Keputusan
Presiden yang bersifat mengatur disebut Peraturan Presiden.
g. Peraturan Daerah
- Peraturan Daerah merupakan Peraturan Perundang-Undangan untuk
melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi dan
menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan.
- Yang berwenang membuat Peraturan Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah.
- Peraturan Daerah dibedakan antara Peraturan Daerah Provinsi, yang
dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi dan Gubernur serta
Peraturan Daerah Kabupaten /Kota, yang dibuat oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan Bupati /Walikota.
- Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Peraturan Daerah dapat
merupakan pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi
atau dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai pelaksanaan dari
Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, maka materi (substansi)
Peraturan Daerah seyogyanya tidak bertentangan dengan dan berdasarkan
pada Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (tingkat pusat).
- Sedangkan untuk Peraturan Daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi,
maka substansi Peraturan Daerah tersebut tidak harus berdasarkan pada
Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (tingkat pusat), tetapi
harus menyesuaikan pada kondisi otonomi (kemampuan) daerah
masing-masing.
- Peraturan Daerah adalah sebangun dengan Undang-Undang, karena itu
tata cara pembentukannya pun identik seperti tata cara pembentukan
Undang-Undang dengan penyesuaian-penyesuaian.
- Salah satu perbedaan yang terdapat dalam Peraturan Daerah adalah
adanya prosedur atau mekanisme pengesahan dari pemerintah pusat atau
pemerintah daerah yang lebih tinggi untuk materi (substansi) Peraturan
Daerah tertentu, misalnya materi mengenai retribusi.
g. Peraturan Perundang-Undangan Lain
- Jenis Peraturan Perundang-Undangan lain sebagaimana yang disebutkan
di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dalam Pasal 7 ayat (4) antara lain peraturan yang
dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, atau
Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah
atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
- Lebih lanjut disebutkan bahwa “hirarki” adalah penjenjangan setiap
jenis Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi.
- B. LEMBAGA PEMBENTUK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
- Lembaga Pembentuk Peraturan Perundang-undangan adalah lembaga yang
diberi kekuasaan atau kewenangan untuk membentuk Peraturan
Perundangundangan.
- Sesuai dengan jenis Peraturan Perundang-undangan, Lembaga Pembentuk Peraturan Perundang-undangan terdiri dari:
- Dewan Perwakilan Rakyat selaku Lembaga Pembentuk undang-undang.
- Presiden selaku Lembaga Pembentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.
- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selaku Lembaga Pembentuk Perda.
- Kepala Daerah selaku lembaga pembentuk Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan Peraturan Walikota.
- Majelis Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Konstitusi,
Gubernur Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga dan Komisi yang
setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah
Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati, Walikota, Kepala Desa
atau yang setingkat.
Berikut penjelasan lembaga-lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan diatas yaitu :
a. Lembaga pembentuk undang-undang
- Kekuasaan lembaga pembentuk UU diatur dalam UUD RI 45 dan UU No. 10 tahun 2004 pasal 1 ayat 3.
- Sebelum amandemen UUD 45 kekuasaan membentuk UU dirumuskan dalam
pasal 5 ayat 1 dan pasal 20 ayat 1 serta pasal 21 ayat 1 UUD 1945 yang
berbunyi sebagai berikut :
- Pasal 5 ayat 1 “Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dgn persetujuan DPR”
- Pasal 20 ayat 1 “Tiap-tiap UU menghendaki persetujuan DPR”
- Pasal 21 ayat 1 “Anggota-anggota DPR berhak memajukan rancangan UU”
- Berdasarkan hal diatas presiden mempunyai kekuasaan membuat UU asal
DPR menyetujuinya. Sedangkan anggota DPR dapat memajukan RUU.
- Kalau kita menganut prinsip negara hukum yaitu Trias Politica
nampaklah jelas bahwa kekuasaan membuat UU ada ditangan legislatif (DPR)
bukan ditangan eksekutif (Presiden).
- Dengan demikian jelas UUD 45 pra amandemen yg memberi wewenang
membentuk UU kepada Presiden tidak tepat dan menurut saya justru
bertentangan dgn prinsip negara hukum dalam rangka menghindari terjadi
penyalahgunaan kekuasaan.
Setelah UUD 1945 di amandemen menjadi UUD Negara RI 1945 maka pasal 5, 20, 21 dihapuskan sebagai berikut :
- Pasal 5 “Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR”
- Pasal 20 berbunyi :
1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk UU.
2) Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
3) Jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
4) Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi UU.
5) Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak RUU tersebut
disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
- Pasal 21 (1) “Anggota DPR berhak mengajukan usul RUU.
- Pasal 22 D “DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yg berkaiatan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat
dan daerah.
- Berdasarkan pasal-pasal diatas, maka jelas dulunya kekuasaan
membentuk UU ada ditangan Presiden sekarang beralih kekuasaan ada
ditangan DPR.
- Dengan demikian, DPR lah yg berkuasa membentuk UU, sedangkan Presiden hanya berhak mengajukan RUU.
- Namun demikian kekuasaan tersebut dibatasi karena setiap RUU yang
diinisiatifi oleh DPR maupun presiden harus dibahas dulu dan disetujui
bersama DPR dan Presiden.
- Dengan adanya pembahasan bersama maka kekuasaan DPR dlm membentuk UU dapat dihindari kesewenangan DPR.
- Selanjutnya setelah RUU tsb disetujui bersama, maka disahkan oleh presiden (Pasal 20 ayat 4)
- Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan
oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak RUU tersebut
disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan (Pasal 20
ayat 5). Contoh Undang-Undang tentang Pembentukan Provinsi Riau
Kepulauan, yang merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat, sudah
dibahas dan disetujui bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden,
namun tidak disahkan oleh Presiden, dan setelah batas waktu 30 hari
diberlakukan. Disini nampaknya ada nuansa politiknya.
- Apapun alasannya hukum adalah produk politik berupa peraturan
peraturan perundang-undangan. Untuk itu pengaruh politik, ekonomi,
sosial budaya, lingkungan lokal dan global, birokrasi serta kepentingan
keseimbangan kekuasaan.
- Penjelasan: Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pembentukan Provinsi
Riau Kepulauan merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat, dan dalam
prosesnya terdapat perbedaan pendapat dan pendekatan antara DPR,
Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota yang terkait, khususnya
Kabupaten Natunayang menolak bergabung menjadi Provisni Riau Kepulauan,
bahkan memunculkan polemik di daerah dan penolakan dari Gubernur dan
DPRD Provinsi Riau. Dalam pembahasan di DPR, Pemerintah berpendapat
bahwa inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk Provinsi Riau
Kepulauan prosesnya tidak mendasarkan atau tidak sesuai dengan tata cara
dan persyaratan pembentukan daerah otonom (PP 29/1999), diantaranya
tidak ada persetujuan dan usul tertulis dari Gubernur Riau dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Riau. Sedangkan Dewan Perwakilan
Rakyat berpendapat usulan tersebut sesuai dengan aspirasi masyarakat
yang didasarkan usul Bupati dan Walikota terkait bersama DPRDnya, diluar
Kabuaten Natuna.
- Disisi lain, DPR menyatakan bahwa usul pemebentukan Provinsi Riau
Kepulauan adalah merupakan INISIATIF DPR dan sesuai dengan UUD 45 bahwa
kekuasaan membentuk Undang-Undang ada ditangan DPR, dan ironisnya
terbesit penegasan bahwa DPR tidak terikat pada PP 29/1999. Dengan
demikian, ada unsur kekuatan politik dan bias pemahaman terhadap
kekuasaan membentuk Undang-Undang, dan mempengaruhi proses dan prosedur
pembentukan Undang-Undang tentang Pembentukan Provinsi Riau Kepulauan.
Dengan pengertian lain, pendekatannya mengutamakan kepentingan politis
(pemenuhan janji Dewan Perwakilan Rakyat kepada masyarakat). Pembahasan
berlanjut dengan menghasilkan kesepakatan dan persetujuan bersama yang
dilakukan berdasarkan kompromi atau bargaining politik yang cenderung
mengakomodir kepentingan politik.
b. Lembaga pembentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
- Disini berkaitan dengan lembaga atau pejabat yg diberi kekuasaan
atau kewenangan menetapkan atau mengeluarkan peraturan sesuai dengan
hirarki peraturan perUUan
- Kekuasaan dan kewenangan dalam membentuk Perpu diatur pada pasal 22 ayat 1 UUD RI 1945)
- Bunyi pasal tersebut sebagai berikuti “dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perpu (ayat 1).
- Perpu itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut (ayat 2).
- Jika tidak mendapat persetujuan maka Perpu itu harus dicabut (ayat 3)
- Batas waktu pemberlakuan Perpu singkat dan harus diajukan kepada DPR
dalam bentuk RUU untuk dibahas ssuai dengan mekanisme pembahasan RUU.
Karena kebutuhan yang sangat mendesak, proses pembahasan di DPR
dilakukan sangat cepat, dalam hal ini DPR hanya menolak dan menerima.
- Sebagaimana diketahui bahwa syarat adanya Perpu adalah adanya situasi kegentingan memaksa.
- Dewasa ini belum ada kriteria atau ukuran baku untuk menetapkan
kegentingan memaksa seperti keadaan perang, bencana alam nasional
terorisme dan pemberontakan yang berakibat luas dan mengganggu kehidupan
rakyat dan keutuhan NKRI.
- Pengertian kegentingan memaksa sekarang ini tidak jelas dan ditafsirkan sangat luas dan penetapannya dilakukan oleh presiden.
- Contoh Perpu menjadi UU yaitu Perpu No. 1 tahun 2004 (Perpu
pertambangan di hutan lindung) kemudian disahkan menjadi UU No. 19 tahun
2004
c. Lembaga Pembentun Peraturan Pemerintah
- Pasal 5 ayat (2) UUD RI 1945 memberikan kewenangan kepada presiden menetapkan PP untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya.
- Yang dimaksud dgn sebagaimana mestinya adalah muatan materi yg
diatur dlm PP tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam UU yg
bersangkutan.
- Dalam kewenangan membentuk PP atas perintah UU presiden tidak
memiliki diskresi untuk mengatur muatan materi pelaksanaan diluar yg
diperintahkan atau mengatur hal-hal yang baru.
- Mengingat jangkauan muatan materi Peraturan Pemerintah tidak mungkin
mengatur hal-hal teknis pelaksanaan yang harus dilaksanakan oleh
Presiden di dalam menyelenggarakan pemerintahan, maka sepanjang tidak
bertentangan atau tidak mengatur hal-hal baru diluar yang telah
ditentukan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dimungkinkan dapat
memberikan perintah atau mendelegasikan materi muatan tertentu yang
bersifat teknis pelaksanaan untuk diatur dan ditetapkan dengan :
- Peraturan Presiden atau Peraturan Perundang-undangan lain.
- Kepada Menteri/ Pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang,
dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan, Peraturan
Pemerintah
- Juga dapat memberikan perintah atau mendelegasikan muatan materi
tertentu kepada Pemerintahan Daerah, untuk diatur dengan Peraturan
Daerah atau Peraturan Kepala Daerah.
d. Lembaga Pembentuk Peraturan Presiden
- Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, menegaskan bahwa Peraturan Presiden 11
adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat dan ditetapkan oleh Presiden untuk melaksanakan muatan materi yang diperintahkan oleh
Undang-Undang atau melaksanakan Peraturan Pemerintah. Peraturan
Presiden berisi muatan materi yang mengatur pelaksanaan dan/atau
mengatur hal-hal teknis sebagai penjabaran dari Peraturan
Perundangundangan yang memerintahkan.
- Peraturan Presiden juga dapat memerintahkan atau mendelegasikan
muatan materi tertentu yang bersifat teknis operasional kepada Menteri
atau pejabat yang diberi wewenang dan/atau kepada Pemerintahan Daerah. Contoh:
Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan
Pengelolaan Program Legislasi Nasional, menindaklanjuti atau
melaksanakan perintah langsung pasal 16 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004.
e. Lembaga Pembentuk Peraturan Daerah
- Perda dibentuk oleh pemerintahan daerah dalam rangka melaksanakan
otonomi daerahnya. Hal ini datur dalam Pasal 18 ayat 6 UUD RI 1945
- Bunyi Pasal tersebut sebagai berikut “pemerintahan daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan
otonomi daerah dan tugas pembantuan”
- Rumusan Pemerintahan Daerah menurut pasal ini membingungkan, karena
secara umum pengertian pemerintahan daerah adalah kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan, bukan lembaga.
- Nampaknya, perumus Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 memberikan pengertian pemerintahan daerah sama dengan pengertian
pemerintahan daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, yaitu Pemerintahan Daerah adalah Dewan Pewakilan
Rakyat Daerah dan Kepala Daerah.
- Walapun pengertian pemerintahan daerah menjadi ganjalan, maka solusi
untuk mengurangi ganjalan dimaksud, pengertian pemerintahan daerah
ditegaskan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah bahwa ”Pemerintahan Daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah…”.
- Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menjelaskan bahwa
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
- Secara eksplisit pasal 1 angka 7 ini menegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membentuk Perda.
- Dengan adanya kalimat dengan persetujuan bersama Kepala Daerah secara implisit mengandung makna bahwa lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat diartikan memiliki fungsi legislasi yang sebangun dengan fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
- Yang harus dipahami bersama, bahwa pengertian sebangun disini harus
dipahami tidak mengandung makna bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
adalah kepanjangan tangan atau memiliki hirarki dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia.
- Dengan demikian dalam proses pembentukan Peraturan Daerah, tahapan
proses dan prosedurnya dapat dilakukan dengan mempedomani ketentuan
Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tahapan proses dan prosedur
pembentukan Undang-Undang
MATERI PERDA :
- Diatur ndalam Pasal 12 UU No. 10 tahun 2004.
- Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, menjelaskan bahwa materi
muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung
kondisi khusus (khas) daerah, serta penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
- Pasal 12 tersebut memberikan jawaban bahwa pada hakekatnya Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah melaksanakan fungsi legislasi di tingkat
daerah, dan bukan lembaga Legislasi sebagaimana konsep pembagian kekuasaan lembaga tinggi negara menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
- Namun demikian, apabila dikaji secara mendalam, tersirat bahwa
perumus Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, berkeinginan secara eksplisit
memberikan landasan hukum kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk
memiliki fungsi legislasi (kekuasaan membentuk Perda) yang sebangun
dengan fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di
dalam pembentukan Undang-Undang.
- Kedudukan dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebenarnya
secara eksplisit dirumuskan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945, dan Peraturan Perundang-undangan lain. Hal
ini dapat dilihat dari :
1) Pasal 18 ayat (6) dan ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 yang dijabarkan dengan UU Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan legalitas keberadaan DPRD.
2) Beberapa pasal yang berkait dengan DPRD dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu Pasal 22 A dijabarkan dengan
Undang Undang Nomor 10 tahun 2004, dan Khusus pasal 22 E ayat (2) dan
ayat (3) dijabarkan dengan Undang-Undang Pemilu dan Undang Undang
Susduk.
f. Lembaga Pembentuk Peraturan Peraturan perundang-undangan Diluar Hirarki
- Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004, menjelaskan
bahwa terdapat jenis Peraturan Perundang-undangan lain diluar hirarki
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
- Peraturan peraturan perundang-undnagan yang dimaksud sebagai berikut :
1) Peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat
2) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat
3) Peraturan Dewan Perwakilan Daerah
4) Peraturan Mahkamah Agung,
5) Peraturan Mahkamah Konstitusi
6) Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan
7) Peraturan Gubernur Bank Indonesia,
8) Peraturan Menteri
9) Peraturan Kepala Badan
10) Peraturan Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
11) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
12) Peraturan Gubernur
13) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
14) Peraturan Bupati
15) Peraturan Walikota,
16) Peraturan Kepala Desa atau yang setingkat.
PENGUNDANGAN DAN DAYA IKAT SERTA PENYEBARLUASAN
A. Landasan dan tujuan pengundangan
Landasan bagi perlunya pengundangan :
Setiap orang dianggap mengetahui UU (teori fictie hukum = een ieder wordt geacht de wet te kennen, nemo ius ignorare consetur= in dubio proreo, latin). Alasannya adalah karena UU dibetuk oleh atau dgn persetujuan wakil2 rakyat maka rakyat dianggap mengetahui UU
Pengundangan :
Ialah pemberitahuan secara formal suatu peraturan negara dgn
penempatannya dlm suatu penerbitan resmi yg khusus utk maksud itu sesuai
dgn ketentuan yg berlaku.
Dengan pengundangan maka :
- Peraturan negara itu telah memenuhi prinsip pemberitahuan formal,
- Peraturan negara itu telah memenuhi ketentuan sbg peraturan negara,
- Prosedur pembentukan yg disyaratkan bagi peraturan negara itu sudah dicukupi
- Peraturan negara itu sudah dpt dikenali (kenbaar) sehingga dengan
demikian peraturan negara tersebut mempunyai kekuatan mengikat.
Tujuan pengundangan :
- Agar secara formal setiap orang dapat dianggap mengenali peraturan negara,
- Agar tidak seorangpun berdalih tidak mengetahuinya,
- Agar ketidak tahuan seseorang akan peraturan hukum tsb tdk memaafkannya.
Pengumuman :
Adalah pemberitahuan secara material suatu peraturan negara kpd
khalayak ramai dgn tujuan utama mempermaklumkan isi peraturan tsb
seluas-luasnya.
Pengumuman dpt dilakukan dgn berbagai cara, dengan menyebarluaskannya, dengan menguar-uarkannya, dan dgn cara lain sbgnya.
Tujuan pengumuman adalah agar secara material sebanyak mungkin
khlayak ramai mengetahui peraturan negara tsb dan memahami isi serta
maksud yg terkandung ddi dalamnya.
Dalam sejarah perUUan negara RI peralihan istilah “pengumuman” ke
“pengundangan” terjadi pada sekitar beralihnya negara RIS dengan
konstitusi RIS kepada negara Indonesia kesatuan dengan UU Dasar
Sementara 1950. Lembaran negara tahun 1950 No. 62 yang memuat PP No. 24
tahun 1950 yg ditetapkan tanggal 14 Agustus 1950 dan diundangkan tanggal
16 Agustus 1950 oleh Menteri Kehakiman Lembaran Negara tahun 1950 No.
63 yg memuat UU Darurat No. 31 tahun 1950 yg ditetapkan tanggal 23
Agustus 1950 dan diundangkan tanggal 25 Agustus 1950 oleh menteri
Kehakiman yang sama Supomo, sudah menggunakan istilah diundangkan.
Perubahan istilah tersbeut sudah berlaku sampai sekrang.
Begitu juga dengan berlakunya UU No 10 tahun 2004 maka juga
menggunakan istilah diundangkan dan pelaksanaan pengundangan beralih
dari Menteri Sekretaris Negara menjadi Menteri yg bertugas dibidang
perundang-undangan dan tidak ada lagi mengenal istilah pengumuman
Tempat pengundangan dan jenis peraturan yg diundangkan menurut UU No. 10 atahun 2004 :
- Lembaran negara RI
- Berita Negara RI
- BLembaran Daerah
- Berita Daerah
- Tempat pengundangan (lihat pasal 45)
Tempat pengundangan dan jenis peraturan yg diundangkan :
- Dalam Lembaran Negara RI :
- UU/Perpu
- PP
- Perpres mengenai : a) ratifikasi perjanjian internasional, b) keadan bahaya
- Peraturan perUUan lain yg menurut peraturan perUUan yg berlaku harus
diundangkan dlm lebaran negara RI dan peraturan perUUan lain yang
menurut peraturan perundang-undangan yg berlaku harus diundangkan dalam
Berita Negara RI.
Pasal 46 : Pengundangan dilakukan oleh menteri hukum dan HAM (Pasal 46)
Pasal 47 : Tambahan LN memuat penjelasan peraturan perUUan yang
dimuat dalam lembaran negara RI, sedangkan tambahan berita negara RI
memuat penjelasan peraturan perUUan yg dimuat dalam berita negara
Pasal 49 :
•Peraturan perUUan yg dindangkan dlm lembaran daerah adalah Perda
•Peraturan Gubernur, peraturan Bupati/Walikota atau peraturan lain dibawahnya dimuat dalam Berita Daerah
•Pengundangan Perda dalam lembaran daerah dan berita daerah dilaksanakan oleh sekretaris daerah
•Menurut penjelasan pasal 49 (2) peraturan perUUan yg diundangkan
dlm berita daerah misalnya peraturan nagari, perdes atau peraturan
gampong dilingkungan daerah yg bersangkutan.
Hubungan pengundangan dan daya ikat :
- Dengan adanya pengundangan bagi suatu peraturan perundang-undangan
yaitu dengan penempatannya di dalam lembaran negara RI, maka peraturan
perundang-undangan tersebut dianggap mempunyai daya laku serta daya ikat
bagi setiap ora
Sehubungan dgn masalah pengundangan dan daya ikat tsb dapat dijumpai adanya tiga variasi yaitu :
- Apabila dl suatu peraturan dinyatakan berlaku pada tanggal
diundangkan, maka dlm hal ini peraturan tsb mempunyai daya ikat pada
tanggal yang sama dengan tanggal pengundangannya, Contoh, apabila suatu
UU diundangkan pd tgl 10 Nop 2006 dan dinyatakan berlaku pd tgl
diundangkan maka pada tgl 10/11 2006 tsb UU ini mulai berdaya laku serta
berdaya ikat (mengikat umum )
- Berlaku beberapa waktu setelah diundangkan
apabila dlm suatu peraturan dinyatakan berlaku beberapa waktu
setelah diundangkan maka dlm hal ini peraturan tsb mempunyai daya laku
pada tgl diundangkan tsb, akan tetapi daya ikatnya setelah tgl yang
telah ditentukan tersebut. Contoh apabila suatu UU diundangkan pd tgl 10
Nopember 2006 dan dinyatakan berlaku 30 hari kemudian, maka UU itu
mempunyai daya laku pada sejak tgl 10 Nop 2006 akan tetapi UU tsb baru
berdaya ikat (mengikat umum) pada tgl 10 Desember 2006.
-
Berlaku pada tanggal diudangkan dan berlaku surut sampai tanggal yang tertentu
Apabila suatu peraturan ditentukan demikian, maka hal ini berarti
bahwa peraturan tsb mempunyai daya laku sejak tgl diundangkan akan
tetapi dalam hal2 tertentu ia mempunyai daya ikat yg berlaku surut
sampai tgl yg ditetapkan tadi.
Apabila suatu peraturan tersebut dinyatakan berlaku surut maka
ketentuan saat/waktu berlaku surutnya peraturan tsb hrs dinyatakan
secara tepat/pasti, misalnya berlaku surut sampai dgn tgl 1 Januari
2006, oleh karena ini berhubungan erat dgn adanya kepastian hukum.
Contoh : Apabila suatu UU diundangkan pd tgl 10 Nop 2006 dan dinyatakan
berlaku pd tgl diundangkan serta dinyatakan berlaku surut sampai pd tgl 1
Januari 2006 maka UU tsb mempunyai daya laku dan daya ikat mulai tgl 10
Nop 2006 tsb serta berlaku surut sampai dgn tgl 1 Januari 2006.
Proses pengundangan peraturan perUUan menurut Perpres No 1 tahun 2007
- Naskah UU yg telah disahkan Presiden disampaikan oleh menteri sekretaris negara kepada menteri utk diundangkan dlm LN RI
- Naskah Perpu dan PP yg telah ditetapkanoleh presiden disampaikan
oleh menteri sekretaris negara kpd menteri utk diundangkan dlm LNRI
- Naskah Perpres yg telah ditetapkan Presiden disampaikan oleh sekretaris kabinet kepada menteri utk diundangkan dlm LNRI
- Naskah peraturan perUUan lainnya yg telah ditetapkan oleh pimpinan
lembaga (Psl 46 ayat 1) disampaikan kpd menteri utk diundangkan dlm LN
RI
- Menteri yg tugas dasn tanggungnya dibidang perUUan (Menkumham)
kemudian akan membubuhkan tanda tangan pd naskah UU, Perpu, PP, Perpres
serta peraturan lembaga tsb dan menempatkannya dlm LNRI dgn membubuhkan
nomor dan tahunnya serta menempatkan penjelasannya serta nomor dlm
tambahan LN
- Naskah peraturan menteri/pimpinan lembaga pemerintah non departemen
dan perundang lainnya yg telah ditetapkan diberi nomor dan tahunnya
disampaikan kpd menteri utk selanjutnya diundangkan dgn penempatannya
dlm berita negara RI. Slide 16
Penyebarluasan peraturan perUUan menurut UU No. 10 tahun 2004
- Diatur dlm Pasal 51 berbunyi pemerintah wajib menyebarluaskan
peraturan perUUan yg telah diundangkan dlm LN RI atau Berita Negara
- Selanjutnya dlm penjelasan pasal 51 berbunyi, “yg dimaksud dgn
menyebarluaskan adalah agar khlayak ramai mengetahui peraturan
perundang-undnagan tsb dan mengerti/memahami isi serta maksud yg
terkandung didalamnya, misalnya dilakukan dgn melalui media elektronik,
Televisi, radio dan media cetak
- Didaerah (Perda) dilakukan oleh pemda baik yg sdh diundangkan dlm Lembaran daerah maupun berita daera
Penyebarluasan peraturan perUUan menurut Perpres No. 1 tahun 2007
- Diatur dlm pasal 29 berbunyi “pemerintah wajib menyebarluaskan
peraturan perUUan yg telah diundangkan dlm LN RI dan dalam berita negara
RI, sedangkan pemda wajib menyebarluaskan peraturan perUUan yg telah
diundangkan dlm LD dan peraturan dibawahnya yg telah diundangkan dlm
berita daerah.
- Misalnya dilakukan dgn melalui media elektronik, Televisi, radio dan media cetak.